FAHAM MU'TAZILA
Akibat dari hal itu bermuncullah kebid’ahan-kebid’ahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadaf ajaran islam. Bahkan di dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan pemikiran-pemikiran para filosof daripada ajaran dan wahyu dari Allah, sehingga banyak ajaran islam yang tidak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka.
Oleh karena itu sudah menjadi
kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak
terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu ” Mu’tazilah” yang
pengaruh penyimpangannya sangat terasa sampai saat ini dan masih
dikembangkan oleh para kolonialis Kristen dan Yahudi dalam menghancurkan
kekuatan kaum muslim dan persatuannya.
1. Sebab Penamaannya
Para ulama telah berselisihan pendapat tentang sebab penamaan aliran ini dengan nama Mu’tazilah menjadi dua pendapat :
Pertama, berpendapat
bahwa sebab penamaannya adalah berpisahnya Waashil Bin Atho dan Amir Bin
Ubaid dari majelis dan halaqohnya Al Hasan Al Bashry. Hal ini
didasarkan oleh riwayat yang mengisahkan bahwa ada seseorang yang
menemui Al Hasan Al Bashry, lalu berkata : imam agama telah muncul pada
zaman kita ini satu jamaah yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan dosa
besar menurut mereka adalah kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari
agama. Mereka adalah Al Wa’iidiyah Khawarij dan berjamaah yang
menangguhkan pelaku dosa besar, dosa besar menurut mereka tidak
mengganggu atau merusak iman bahkan amalan menurut mereka bukan termasuk
rukun iman dan iman tidak rusak oleh kemaksiatan, maka bagaimana engkau
memberikan hukum bagi mereka dalam hal tersebut secara I’tikad? lalu
berkata Al Hasan: telah berpisah ( I”tizal ) dari kita Waashil dan Amir
Bin Ubaid mengikuti langkah Waashil, maka kedua orang ini beserta
pengikutnya dinamakan Mu’tazilah.
Kedua, berkata Ibnu Abl
Izzy : Amir Bin Ubaid dan Waashil Bin Atho Al Ghozaal serta para
pengikutnya dinamakan demikian karena memisahkan diri dari al jamaah
setelah wafatnya Al Hasan Bashry di awal-awal abad kedua dan mereka itu
bermajelis sendiri ( berpisah ) sehingga mereka dinamakan denga
Mu’tazilah.
2. Defenisi Mu’tazilah
Secara etimologi Mu’tazilah atau
I’tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arabnya menunjukian arti :
kesendirian , kelemahan dan keterputusan.
Sedangakan secara Terminologi
Para Ulama mendefenisikan sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang
menyelisihi pendapat umat islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa
besar yang dipimpin oleh Waashil Bin Atho dan Amir Bin Ubaid pada zaman
Al Hasan Al Bashry.
Kata mu’tazilah berasal dari
bahasa Arab ”I’tazala” yang artinya ”Hengkang” atau ”Pisah”. Yang
dimaksud adalah suatu aliran atau golongan yang memisahkan diri dari
induknya , yaitu Waashil Bin Atho memisahkan diri dari gurunya Al–Hasan
Al–Basry karena terjadi perbedaan pendapat diantara mereka, yang
akhirnya Waashil membuat aliran sendiri yang diberi nama dengan golongan
Mu’tazilah.
3. Awal Munculnya Faham Mu’tazilah
Golongan Mu’tazilah lahir
dilatarbelakangi oleh adanya perselisihan faham antara murid dengan guru
dan bukan dimotori oleh kepentingan politik sekalipun akhirnya setelah
tumbuh golongan ini ditunggangi oleh kepentingan politik.
Pembangunan aliran ini adalah
Abu Chudzaifah Bin Atha yang muncul pada masa pemerintahan Hisyam Bin
Abdul Malik ( 724 -743 ) pada dasarnya Waashil Bin Atha adalah murid
Hasan Al – Basry ( 642 – 728 ) salah seorang ulama senior di Baghdad.
Namun karena terjadi perbedaan pandangan dalam masalah agama, maka
Waashil memisahkan diri dari gurunya dan membuat aliran sendiri yang
dikenal dengan sebutan aliran Mu’tazilah
4.Ciri-Ciri Faham Mu’tazilah
Ciri–ciri faham Mu’tazilah antara lain:
- Orang yang berbuat dosa besar dan meninggal sebelum bertaubat, maka hukumnya tidak mukmin dan tidak kafir , namun diantara keduanya dan di akhirat kelak ia berada dintara surga dan neraka. ( Al – Manzilah Baina Al – Manzilahtain )
- Akal merupakan hukum tertinggi, baik dan buruk ditentukan oleh akal.
- Bila terjadi perbedaan antara akal dan Al-Qu’ran serta Hadist maka yang diambil adalah ketentuan akal.
- Al- qur’an adalah Makhluk dan bukan firman Allah.
- Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penghuninya di akhirat kelak.
- Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw, bukan dengan jasad dan ruh namun hanya melalui mimpi sebab mustahil menurut akal dalam waktu yang relatif singkat manusia dapat menempuh jarak yang luar biasa jauhnya dan penuh rintangan dan resiko.
- Perbuatan manusia ditentukan oleh manusia itu sendirinya baik atau buruknya dan bukan ditentukan oleh Allah.
- Bahwa Arsy itu tidak ada.
- Surga dan neraka itu tidak ada, sebab yang kekal hanyalah Allah semata.
- Shirat, yaitu jembatan yang melintang diatas neraka jahanam itu tidak ada.
- Mizan, yaitu timbangan amal manusia di akhirat itu tidak benar adanya, sebab amal manusia itu bukan singkong maka tidak dapat ditimbang dan tidak perlu timbangan.
- Haudl atau sungai atau telaga yang diceritakan ada di dalam surga itu tidak ada.
- Bahwa siksa dan nikmat kubur tidak ada , sebab manusia setelah dikubur sudah menyatu kembali dengan tanah .
- Manusia setelah meninggal dunia itu sudah tidak mendapat manfaat apapun dari yang hidup, maka tidak perlu di do’akan, dimintakan ampunan atas dosa- dosanya atau diberi hadiah pahala. Hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena mereka sudah menjadi tanah.
- Bahwa Allah wajib membuat yang baik dan yang lebih baik untuk manusia.
- Allah tidak mempunyai sifat–sifat dan nama–nama, maka haram membaca atau mengkaji sifat–sifat Allah, sebab Allah mendengar dengan Dzat - Nya, melihat dengan Dzat – Nya dan segala sesuatu yang dilakukan oleh Allah dengan dzat –nya.
- Tidak mempercayai adanya Mu’jizat bagi nabi Muhammad Saw, selain Al – Qur’an.
- Halal hukumnya mencaci maki sahabat yang salah.
- Surga dan neraka itu saat ini belum ada, dan baru akan dibuat oleh allah nanti bila kiamat sudah tiba.
5. Perkembangannya
Mu’tazilah berkembang sebagai
satu pemikiran yang ditegakan diatas pandangan bahwa akal adalah sumber
kebenaran pada awal abad kedua hijriyah tepatnya tahun 105 atau 110 H di
kota Bashroh di bawah pimpinan Waashil Bin Atho, lalu menyebar ke kota
Kufah dan Baghdad. Akan tetapi pada masa ini Mu’tazilah menghadapi
tekanan yang berat dari para pemimpin Bani Umayyah yang membuat aliran
ini sulit berkembang dan sangat menghambat penyebarannya sehingga hal
itu membuat mereka sangat benci bani umayyah.
Permusuhan dan perseteruan
antara Bani Ummayyah ini berlangsung terus–menerus denga keras sampai
jatuhnya kekuasaan Bani Umayyah dan tegaknya kekuasaan Bani Abasiyah,
kemudian bersamaan dengan berkembangnya kekuasan Bani Abasiyah,
berkembanglah Mu’tazilah dengan mulainya mereka mengirim para da’i dan
delegasi–delegasi ke seluruh negeri islam untuk mendakwahkan mazhab dan
I’tikad mereka kepada kaum muslimin dan diantara yang memegang peran
besar dan penting dalam hal ini adalah Waashil Bin Atho. Kesempatan ini
mereka peroleh karena mazhab mereka memberikan dukungan yang besar dalam
mengokohkan dan menguatkan kekuasaan Bani Abasiyah khususnya pada
zaman Al Ma’mun yang condong mengikuti aqidah mereka apalagi ditambah
dengan persetujuan Al Ma’mun terhadaf pendapat mereka tentang Al–Qur’an.
Mereka mengatakan bahwa Al–Qur’an itu makhluk sampai–sampai Al Ma’mun
mengerahkan seluruh kekuatan bersenjatanya untuk memaksa manusia untuk
mengikuti dan menyakini kebenaran pendapat tersebut, lalu beliau
mengirim mandat kepada para pembantunya di Baghdad pada tahun 218 H
untuk menguji para Hakim, Muhadditsin dan seluruh ulama dengan pendapat
bahwa Al–Qur’an adalah makhluk. Beliau juga memerintahkan hakim untuk
tidak menerima persaksian orang yang tidak sependapat dengan pendapat
tersebut dan menghukum mereka, maka terjadilah fitnah yang sanagt besar.
Diantara para ulama yang mendapat ujian dan cobaan ini adalah Al –Imam
Ahmad Bin Hambal. Beliau merupakan ulama yang sangat terkenal pada masa
itu, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqidah dan pendapat ahli
sunnah wal jamaah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al–Qur’an adalah
kalamullah dan bukan mahkluk.
Walaupun Mu’tazilah telah
melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami kehidupan akal
sejak abad kedua samapai abad kelima Hijriyah, akan tetapi tidak
mendapat keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami
kemunduran dan kegagalan dalam bidang tersebut. Hal ini tampak terjadi
karena mereka tidak mengambil sumber atau berlandaskan Al–Qur’an dan
Sunnah Rasul, bahkan mereka mendasarinya dengan bersandar kepada akal
semata yang telah rusak oleh pemikiran filsafat Yunani dan
bermacam–macam aliran pemikiran.
Akibat dari setiap pemikiran
yang tidak diterangi dengan kalamullah dan Sunnah Nabi maka akhirnya
adalah kehancuran dan kesesatan walaupun demikian hebatnya, karena
mengambil sumber penerangan dari Al–Kitab dan Sunnah Nabi akan menerangi
jalannya akal sehingga tidak salah dan tersesat. Menurut para sufi
apabila akal berpedoman atau berpegang teguh pada sumber yang murni
yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul berarti akal tersebut akan menjadi
akal yang terang benderang seolah–olah diterangi cahaya Ilahi serta jauh
dari kesesatan dan penyimpangan.
6. Metode Mu’tazilah
Ciri khas paling khusus dari
Mu’tazilah, ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal.
Prinsip ini mereka pergunakan untuk menghukum berbagai hal. Dengan
prinsip ini mereka berjalan begitu jauh. Mereka berpendapat bahwa alam
punya hukum kokoh yang tunduk kepada akal. Mereka merupakan kelompok
yang hampir mirip dengan Descartes dari kalangan kaum rasionalis modern.
Mereka tidak mengingkari naql (teks Al–Qur’an dan Hadis), tetapi tanpa
ragu–ragu mereka menundukkan naql kepada hukum akal.
Mereka menguasai berbagai
pandangan religius dan filosofis yang melingkupi mereka. Sayangnya
kecenderungan rasionalisme mereka yang ekstrim itu mendorong mereka
untuk menerapkan hukum–hukum akal terhadaf alam langit seperti ketika
menghukumi alam bumi, sehingga mengiring mereka kedalam
pandangan–pandangan yang begitu berani, yang akhirnya mengiring mereka
ke dalam filsafat ketuhanan yang selamanya tidak mengkonsekuensikan
semua pengertian keagungan dan kesempurnaan yang sepantasnya (bagi
Allah)
Aliran Mu’tazilah juga
mensucikan kemerdekaan berpikir. Kemerdekaan berpikir ini, mereka
sucikan baik ketika menghadapi pihak lawan–lawan maupun ke dalam, antar
sesama mereka sendiri. Untuk itu mereka berkepentingan mendengarkan
pandangan–pandangan yang paling aneh dan absurd sekalipun, untuk
dianalisa dan dikonfirmasikan kersalahannya. Mereka memperluas ruang
gerak kajian di kalangan mereka sendiri, dimana seorang murid berhak
menentang pendapat gurunya, bahkan anak pun boleh menentang pendapat
ayahnya sendiri.kaum Mu’tazilah pendapat dalam masalah detail, dan
mereka menjadi kelompok di dalam kelompok tidak ada aliran teologi yang
membiasakan kemerdekaan pendapat ini punya andil dalam perpecahan yang
terjadi di dalam barisan Mu’tazilah, sehingga anak–anak dari satu
keluarga saling menuduh kafir.
Tuduhan inilah yang begitu
populer pada banyak kelompok. Betapa anehnya kalau para pemikir merdeka
itu mengharuskan manusia membawa pedang untuk menumpas sebagian
pandangan mereka khususnya yang tidak ada hubungannya dengan inti
akidah.
No comments:
Post a Comment